Selasa, 13 Oktober 2015

tak hanya jual kopi luwak

Dari sebuah rumah kecil, tiga perempuan yang masih satu keluarga, Syahminar, Erniwati dan Umul Khairi dengan cara kreatif, sukses memperkenalakan kopi luwak organik produksinya ke berbagai belahan dunia. Sejak dirintis tahun 2006, kemudian masuk dalam buku wisata dunia Lonely Planet, usaha yang bernama Rafflesia Luwak Coffe ini makin populer.

Hingga kini, sekitar 10.000 turis mancanegara tercatat telah berkunjung ke sana. Mereka tidak hanya menikmati, tetapi juga membawa pulang kopi luwak organik produksi tiga perempuan ini.

Umul menuturkan, berawal saat Rio Wardahana, anak Syahminar, yang juga memandu wisata, bertemu Troy Davis di Bukittinggi. Troy berasal dari Australia adalah pemilik kafe kopi luwak non organik ( kopi dari luwak yang dibudidayakan ) di Bali. Selain berwisata, kunjungan Troy ke Sumatera Barat (SumBar) untuk mencari kopi luwak organik. Troy meminta Rio mencarikan orang yang bisa membantunya.

"Rio memberi tahu kepada kami tentang Troy. Setelah berdiskusi baik dengan Syaminar, Erniwati dan Troy, kami menyanggupi untuk mencari kopi luwak organik ( kopi dari kotoran luwak liar)," kata Umul saat di jumpai di di rumah sekaligus tempat usaha mereka di Desa Batang Palupuh, kecamatan Palupuh, kabupaten Agam, SumBar.

Mereka bertiga pun berkeliling ke sejumlah daerah di SumBar yang memiliki kebun kopi. Mereka mencoba ke Sidikalang, Sumatera Utara. Setelah menjalani pencarian selama beberapa bulan, mereka akhirnya menemukan daerah penghasil kopi luwak organik di Kabupaten Solok dan Agam. Modal awal mereka saat itu hanya Rp.500.000.

"Kami berkerja sama dengan petani kopi pada 10 desa di sana. Mereka mengumpulkan biji kopi yang masih dalam bentuk bongkahan kotoran luwak. Kami mengolahnya, mencuci, menjemur, menumbuknya dengan lesung.    


Dalam keadaan belum digoreng (unroasted bean). Umul mengirimnya kepada Troy di Bali. Dalam sebulan, mereka bisa mengirim sekitar 40 kilogram dengan harga saat itu sekitar Rp.80.000 per kg. Kegiatan ini sudah berjalan hampir tiga tahun, 2006 - 2009.

Syahminar menambahkan, selain kerja sama dengan Troy, mereka juga melihat peluang usaha. Mereka mulai belajar mengolah sendiri kopi luwak untuk dipasarkan dengan merek Rafflesia Luwak Coffe. Tempat usaha mereka memang dekat dengan Taman Rafflesia yang ditumbuhi dengan bunga-bunga Rafflesia.

"Kerja sama dengan Troy berakhir karena dia harus kembali ke Australia tahun 2009. Kami pun belajar secara otodidak tentang kopi luwak, cara pengolahan, pengemasan hingga pemasaran, termasuk ke luar negeri. Dulu, bungkus kopi cuma plastik tanpa merk. Kini kopi luwak mereka di kemas plastik lengkap dengan merk.

Cara kraetif 
Lokasi dekat Taman Raffelsia saat awal memberikan keuntungan tersendiri. Karena menjadi salah satu destinasi wisata, turis juga menyempatkan mampir ke Rafflesia Luwak Coffe.

"Pengujung pertama kami tahun 2006 adalah seorang wisatawan asal Jerman. Padahal, kami belum masuk buku Lonely Planet. Keberadaan kami menyebar dari mulut ke mulut. Wisatawan asing makin banyak datang, Jumlahnya nakin banyak bertambah sejak media asing melaporkannya. Sambil memperlihatkan empat buku tamu nama wisatawan yang berkunjung.

 Wisawatan manacanegara yang datang berasal dari Jerman, Austria, Belanda, Perancis, Swiss Inggris, Italia, Romania, Spanyol, Belgia, Amerika Serikat, Malaysia, Korea, Tiongkok, dan Vietnam. Latar belakang mereka beraneka ragam mulai dari peneliti, pencinta kopi, guru besar hingga jurnalis. Mereka tidak hanya memuji rasa kopi luwak dari Rafflesia Luwak Coffe, tetapi juga cara Umul memperkenalkan kopi luwak.

Setiap tamu yang datang memang tidak sekedar disuguhkan kopi luwak. Namun, mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang proses panjang produksi kopi luwak, manfaat kopi luwak, alasan kopi luwak organik lebih enak, hingga proses kopi luwak terbentuk.

Bagi wisatawan yang tidak membeli hanya membayar Rp.20.000 untuk secangkir kopi luwak yang di sunguhkan. Sementara untuk yang membeli, baik kopi luwak bubuk atau bijian yang sudah digoreng di jual Rp 20.000 per 100 gram. Sementara untuk 1 kilogram kopi luwak Rp 2.000.000. bagi mereka
yang membeli di atas 200 gram juga bisa ikut mencoba menggoreng kopi.

Sejak tahun 2009 hingga sekarang Rafflesia Luwak Coffe melibatkan sembilan orang, termasuk Syahminar, Umul, Erniwati dan enam orang lagi yang semuanya perempuan merupakan warga sekitar seiring makin banyaknya pengunjung. Dari semula hanya 200 orang tahun 2006, pada tahun 2015 sudah sekitar 10.000 orang. Sebagian besar wisatawan mancanegara.

Keuntungan usaha mereka juga bertambah setiap tahun. Dari sekitar Rp 30.000.000 pada tahun 2006. Kini bisa mencapai Rp 200.000.000 per tahun.

Umul, Syahminar, dan Erniwati optimistis, usaha mereka akan jalan karena tetap mengedepankan keramahan dan pelayanan terbaik. Dibalut dengan cara yang kreatif, harum aroma dan nikmat rasa kopi luwak dari Rafflesia Luwak Coffetelah membuat banyak orang tergoda utntuk mampir kesana.    


    


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar